Muhammad
saw dilahirkan pada hari Senin, 12 Rabi’ul awal di tahun Gajah atau
tahun 570 M di kota Mekah. Beliau lahir hanya berselang sekitar 50 hari
setelah peristiwa penyerangan pasukan gajah dibawah pimpinan Abrahah.
Muhammad saw lahir sebagai anak yatim.
Ibunya, Aminah binti Wahb meskipun ketika melahirkan dalam keadaan duka
yang mendalam karena ditinggal wafat sang suami tercinta, Abdullah bin
Abdul Mutthalib, menyambut kelahiran bayinya dengan suka cita. Mimpinya
melihat istana Buchara di Syam dalam taburan cahaya ditambah suara
bisikan bahwa ia akan melahirkan orang besar lah yang mempengaruhi
semangat hidupnya.
Aminah terkenang, baru beberapa bulan
Abdullah yang ketika itu belum mengawininya terbebas dari kematian.
Karena nazar ayahnya yang berbahaya tersebut dapat ditebus dengan 100
ekor unta. Namun hanya selang 3 bulan setelah pernikahannya Abdullah
pergi meninggalkannya untuk selamanya. Apa hikmah semua ini? “ Allah
sengaja menunda kematian Abdullah agar ia dapat membuahiku dan
menitipkan janinnya dalam rahimku. Ini adalah skenario besar Allah. Anak
yang aku lahirkan ini pasti anak yang memilki kedudukan istimewa
disisi-Nya ”, begitu pikir Aminah yakin.
Hal pertama yang dilakukan Aminah begitu
ia melahirkan adalah mengutus seseorang untuk melaporkannya kepada sang
kakek, Abdul Mutthalib, seorang pemuka Quraisy yang amat dihormati. Sang
kakek inilah yang kemudian memilihkan nama ‘Muhammad’ kepada sang bayi.
Abdul Mutthalib memilih nama ini karena ia pernah mendengar beberapa
ahli nujum yang meramalkan akan datangnya nabi di Hijaz dengan nama
Muhammad. Perlu diketahui, Ahmad atau Muhammad dalam bahasa Arab berasal
dari akar kata “ Hamida “, yang berarti syukur atau yang terpuji. Namun demikian sebelum kelahiran Muhammad saw, ini bukanlah nama yang lazim digunakan.
“ Dan (ingatlah) ketika Isa Putra
Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata:
“Ini adalah sihir yang nyata”. (QS.As-Shaaf (61):6).
Muhammad kecil hanya beberapa hari berada
di pelukan ibunda tercinta. Adalah kebiasaan orang Arab zaman dahulu
untuk menyusukan bayi-bayi mereka kepada perempuan-perempuan Badawi
dengan sejumlah imbalan tertentu. Mengapa Badawi? Karena masyarakat
Badawi yang biasanya hidup di pedalaman yang udaranya masih bersih,
dianggap berperangai lurus dan jujur. Jauh dari sifat-sifat buruk yang
lazim terdapat di kalangan masyarakat perkotaan seperti Mekkah.
Orang-orang Quraisy sendiri biasanya memilih perempuan Badawi dari Bani
Sa’ad karena mereka dikenal baik budi bahasa maupun tutur katanya.
Maka ketika suatu hari datang serombongan
perempuan dari bani Sa’ad mencari anak untuk disusukan, Aminahpun
segera menawarkan bayinya untuk disusui. Namun apa yang terjadi ?
Perempuan-perempuan tersebut menolaknya dengan alasan Aminah hanyalah
seorang janda yang tidak mewarisi harta yang cukup banyak dari suaminya.
Dalam kesedihan dan kekecewaan yang
mendalam itulah tiba-tiba salah seorang perempuan yang baru pagi tadi
menolak tawaran menyusui putranya datang kembali. Perempuan tersebut
bernama Halimah As-Sa’diyyah. Ia kembali setelah tidak menemui seorang
bayipun yang dapat disusuinya. Ia mengatakan kepada suaminya, Al-Harits
bin Abdul ‘Uzza , yang mendampingi Halimah ke Mekkah, bahwa ia
memutuskan akan menyusui anak yatim cucu Abdul Mutthalib yang ditolaknya
pagi tadi.
Ketika itu Al-Harits hanya berkata : “
Tidak ada jeleknya egkau lakukan hal itu, mudah-mudahan Allah
memberkahi penghidupan kita dengan keberadaan anak yatim itu di tengah
keluarga kita”.
Dan nyatanya memang itulah yang terjadi.
Keberkahan bermula dengan unta yang ditunggangi Halimah. Begitu Halimah
naik ke atas punggung unta dengan Muhammad kecil di dekapannya, unta
kurus yang tadinya selalu tertinggal jauh di belakang itu tiba-tiba
mampu berlari kencang meninggalkan teman-teman Halimah jauh di
belakang.
Demikian juga air susu Halimah yang
tadinya tidak terlalu deras tiba-tiba menjadi berlimpah. Hingga tidak
saja Muhammad kecil yang puas menyusu tetapi juga bayi Halimah sendiri
juga demikian. Tidak itu saja. Bahkan unta dan kambing peliharaan
keluarga Halimah yang tadinya kurus kering tiba-tiba menjadi subur.
Padahal itu musim paceklik. Tak satupun unta dan kambing tetangga
Halimah yang mampu sedikitpun menghasilkan susu.
Muhammad hidup di tengah keluarga ini
hingga usia 5 tahun. Ia belajar bahasa Arab yang tinggi dan murni dari
kabilah bani Sa’ad yang halus tutur katanya. Tampak bahwa Muhammad
kecil sangat menghayati kehidupan di pedalaman Badawi ini dengan jiwa
yang bebas merdeka. Pengalamannya menggembala kambing di padang rumput
yang memang menuntut kesabaran tinggi amat membekas di hati. Demikian
pula kedekatannya kepada alam bebas terbuka. Hal ini membuat pikirannya
jauh lebih dewasa dibanding anak-anak seusianya yang hidup di kota
besar.
Perasaan dan pengalamannya ini pada suatu hari pernah diutarakannya sendiri. “
Hampir semua nabi pernah menggembalakan kambing. Ibrahim dan Isa adalah
penggembala kambing. Musa juga pernah menjadi penggembala kambing.
Demikian pula aku “.
Tampak nyata bahwa lama berada langsung
di bawah naungan langit terbuka dapat membuat seseorang lebih bijaksana
baik dalam berpikir maupun berprilaku.
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan
bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi
setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata:
“Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah
terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan ”.(QS.Al-An’am (6):75-79).
Bagi keluarga Halimah, selama 5 tahun itu ada sebuah peristiwa yang tak mungkin mereka lupakan begitu saja.
“ Suatu ketika Muhammad sedang
menggembala kambing di belakang rumah. Tiba-tiba Abdullah, saudaranya
laki-laki ( anak lelaki Halimah yang sebaya dengan Muhammad) lari pulang
sambil berteriak-teriak. Ia memberitahu bahwa Muhammad diajak oleh dua
lelaki berpakaian serba putih. Kemudian ia dibelah perutnya . …. Aku
bersama suamiku segera menuju ke tempat kejadian. Disana kami melihat
Muhammad sedang berdiri dan wajahnya tampak pucat pasi. Ia segera kami
peluk dan kami tanyakan apa yang baru saja terjadi. Ia menjawab : “ Dua
orang lelaki berpakaian serba putih datangkepadaku. Kemudian aku
dipegang dan dibaringkan lalu perutku dibedah. Aku tidak tahu apa yang
dicari oleh kedua orang itu ! ”.
Muhammad kembali ke pangkuan ibundanya
tercinta pada usia 5 tahun. Tahun berikutnya dengan ditemani Ummu Aiman,
pembantu setianya, Aminah mengajak putra tunggalnya itu ke Madinah
untuk berziarah ke makam ayahnya. Mereka bertiga selama 1 bulan penuh
berada di tengah keluarga besar Aminah.
Kalau saja Aminah tidak mengingat bahwa
kakek dan keluarga besar Hasyim menanti kepulangan putranya, ia tentu
memilih untuk tetap tinggal di Madinah. Apa boleh buat ia harus
kembali. Sayangnya di tengah perjalanan antara Madinah – Makkah, di
sebuah desa bernama Abwa’ ( sekitar 37 km Madinah) Aminah mengalami
sakit parah. Tak lama kemudian iapun wafat. Beliau dimakamkan ditempat
itu juga.
Saat menjelang wafatnya, Aminah berkata: “Setiap
yang hidup pasti mati, dan setiap yang baru pasti usang. Setiap orang
yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku akan kekal. Aku
telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.”
Dengan menangis pilu Muhammad kecil yang
kini telah menjadi yatim piatu itu terpaksa harus menurut dan patuh saja
ketika Ummi Aiman mengajaknya untuk segera pulang ke Mekkah.
Di kemudian hari, Aisyah ra berkata, “Rasulullah
saw memimpin kami dalam melaksanakan haji wada’. Kemudian baginda
mendekati kubur ibunya sambil menangis sedih. Maka aku pun ikut
menangis karena tangisnya”.
0 comments:
Post a Comment